1.12.2009

Wajah Pendidikan Agama Kita


Oleh Muhibuddin*

Problematika pendidikan agama secara umum di Indonesia adalah lambannya upaya-upaya re-orientasi pendidikan agama secara mendasar sehingga diharapkan mampu menghasilkan out put yang disamping memiliki kompetensi juga berkarakter (berkepribadian) yang baik. Re-orientasi yang dimaksud adalah bertujuan untuk menjawab berbagai kritik mengenai gagalnya pendidikan agama di Indonesia selama ini. Dalam kaitan ini, pendidikan agama harus diarahkan menjadi bentuk pendidikan yang berkeadaban. Yakni, pendidikan agama yang mampu menumbuhkan kesadaran keberagamaan siswa didik yang berisi berbagai hal mendasar seperti kesadaran akan Tuhan, komitmen moral, rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial.

Oleh karena itu, pendidikan agama seyogyanya tidak hanya mengedepankan pengkayaan aspek kognitif semata, tetapi juga pembentukan karakter dengan pembenahan segi afektif serta pemberian ruang kebebasan untuk mengembangkan kreatifitas dengan rangsangan pada aspek psiko-motorik merupakan hal yang penting untuk dilaksanakan secara seimbang. Dengan kata lain yang lebih singkat agama haruslah diajarkan secara total dan tuntas.

Belajar Agama Secara Tuntas, Bukan Sekedar Hafalan

Membicarakan pendidikan agama adalah membicarakan tentang keyakinan, pandangan dan cita-cita hidup dan kehidupan umat manusia dari generasi ke generasi. Pendidikan agama tidak dapat dipahami sebatas 'pengajaran agama'. Karena itu, parameter keberhasilan pendidikan agama tidak cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh anak menguasai hal-hal yang bersifat kognitif atau pengetahuan tentang ajaran agama atau ritus-ritus keagamaan semata. Lebih-lebih penilaian yang diberikan melalui 'angka-angka' yang didasarkan pada seberapa siswa didik menguasai materi sesuai dengan buku ajar. Justru penekanan yang lebih penting adalah seberapa dalam tertanamnya nilai-nilai keagamaan tersebut dalam jiwa dan seberapa dalam pula nilai-nilai tersebut terwujud dalam tingkah laku dan budi pekerti siswa didik sehari-hari. Wujud nyata nilai-nilai tersebut dalam tingkah laku dan budi pekerti sehari-hari akan melahirkan budi luhur (akhlakul karimah). Karena itu pendidikan agama adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang manusia.

Seorang tokoh filsafat perennial, Seyyed Hossein Nasr, menegaskan bahwa pendidikan agama (Islam) musti berkepedulian dengan seluruh manusia untuk dididik. Tujuannya bukan hanya melatih pikiran, melainkan juga melatih seluruh wujud pribadi. Itulah yang menyebabkan mengapa pendidikan agama (Islam) bukan hanya menyampaikan pengetahuan (al-Ta'lim), tetapi juga melatih seluruh diri siswa (al-Tarbiyah). Fungsi guru bukan sekedar seorang muallim, penyampai pengetahuan, tetapi juga seorang murabbi, pelatih jiwa dan kepribadian.

Sementara itu, model pendidikan agama hendaknya tidak menekankan pada metode hafalan. Alasannya, metode hafalan hanya memperkaya wilayah kognitif semata, sehingga mengesankan pendidikan agama hanya bersifat 'formalitas' semata. Siswa didik kurang diajak untuk memasuki wilayah pemahaman, penghayatan serta pengamalan ajaran agama. Namun pada kenyataannya saat ini, parameter keberhasilan pendidikan agama selama ini masih diukur dari penguasaan aspek kognitif tentang agama yang ada di buku, bukan pada aspek afektif yang menuju pada pembentukan perilaku siswa didik. Dengan demikian perlu adanya upaya re-oirentasi, yaitu perubahan proses yang diawali dengan merubah metodologi, dari hafalan menjadi penciptaan kompetensi berbasiskan agama. Dengan berbasis kompetensi semacam ini, pendidikan agama diorientasikan untuk menciptakan perilaku siswa didik yang sesuai dengan ajaran agama. Penekanan kompetensi berbasis agama ini juga mengandaikan pendidikan agama dilaksanakan dengan menyeimbangkan tiga aspek sekaligus, yakni; aspek Iman, aspek Ilmu, dan aspek Amal.

Sungguhpun demikian, di antara tiga hal tersebut yang dapat dijadikan tolok ukur adalah sejauhmana pengamalan ajaran agama yang telah diajarkan di sekolah, sebab meskipun siswa didik mampu menguasai materi pelajaran agama yang didapat disekolah, dus juga dianggap memiliki iman yang kuat, tetapi prilakunya buruk, maka pendidikan agama dapat dianggap belum berhasil.
Menggagas Pendidikan Agama "Rahmatan Lil Alamin"

Salah satu fungsi pendidikan agama adalah mejadikannya 'rahmatan lil alamin'. Cita-cita semacam ini senafas dengan kandungan nilai-nilainya yang universal serta berpihak kepada kemanusiaan. Kedua, semangat ini memuat pemahaman bahwa agama tidaklah diperuntukkan bagi segolongan manusia semata, tetapi agama diwahyukan untuk seluruh makhluk. Agama merupakan solusi bagi terciptanya perdamaian, kebahagiaan bagi seluruh makhluk terutama umat manusia sebagai khalifatullah fi al-ardl. Semangat yang demikian itulah yang semestinya menjadi spirit pendidikan agama di semua institusi pendidikan, dan bukan sebaliknya, agama hanya diajarkan sebatas ritual semata. Nilai-nilai ajaran agama yang menjunjung tinggi pluralisme, toleransi, menerima perbedaan, setiakawanan sosial, saling menghormati, menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan menghargai hak asasi orang lain seharusnya menjadi topik-topik pokok dalam pengajaran agama.

Lebih dalam dari itu, pengajaran nilai-nilai luhur itu tidak hanya sebatas mendorong agar siswa didik menghafal dan mengetahui, tetapi juga perlu ditekankan agar siswa didik mampu memahami dan menghayati secara mendalam (menginternalisasikan) serta mampu memperaktekkannya (mengaktualisasikan) dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga apa yang telah diketahui, difahami, dan dihayati tersebut dapat berbanding lurus dengan perilaku keseharian dalam hidup bermasyarakat.

Pendidikan agama yang ber fungsi sebagai media penyadaran umat, pada kenyataannya saat ini dihadapakan pada problem bagaimana ia dapat dijadikan sebagai institusi yang dapat mengembangkan sebuah teologi inklusif dan pluralis. Dengan begitu, dalam masyarakat akan tumbuh pemahaman yang inklusif. Sehingga harmonisasi agama-agama ditengah kehidupan masyarakat dapat terwujud. Tertanamnya kesadaran pluralitas yang demikian itu, niscaya akan menghasilkan corak paradigma beragama yang hanif dan toleran. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya-upaya untuk merubah paradigma pendidikan yang eksklusif menuju paradigma pendidikan agama yang toleran dan inklusif.

Model pengajaran agama yang hanya menekankan kebenaran agamanya sendiri dan ketidak-benaran agama lain, seharusnya direorientasi. Konsepsi pemahaman yang biner seperti iman-kafir, muslim-nonmuslim dan baik-benar, yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat terhadap agama lain misalnya, mau tidak mau harus 'dibongkar ulang' agar sekelompok penganut agama tidak lagi memandang agama lain sebagai agama yang 'salah' dan tidak ada jalan keselamatan kecuali dalam agama yang diyakininya. Sebab cara pandang atau pemahaman teologis yang ekslusif dan intoleran yang demikian pada gilirannya akan dapat merusak harmonisasi agama-agama dan menghilangkan sikap untuk saling menghargai kebenaran dari agama lain.

Dari hasil penelitian yang sebagaimana diungkapkan oleh Amin Abdullah bahwa guru-guru agama di sekolah yang berperan sebagai ujung tombak pendidikan agama dari tingkat yang paling bawah hingga yang paling tinggi atau dari TK sampai perguan tinggi, nyaris kurang (untuk tidak mengatakan sama sekali) tersentuh oleh gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme dan dialog antar umat beragama. Padahal, guru-guru inilah yang menjadi mediator pertama untuk menterjemahkan nilai-nilai toleransi dan pluralisme kepada siswa, yang pada tahap selanjutnya juga ikut berperan aktif dalam mentransfomasikan kesadaran toleransi secara lebih intensif dan massif.

Karena itulah, meminjam filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh Paulo Freire, bahwa fungsi pendidkan adalah untuk pembebasan, bukan untuk penguasaan (dominasi). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural domestication). Tujuan pendidikan adalah untuk menggarap realitas manusia, dan karena itu, secara metodologis bertumpu pada prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menjumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas.

Dengan cara pandang seperti ini, maka sekarang kita mesti melakukan 'pembebasan' terhadap pendidikan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat dengan memberikan warna yang lebih inklusif. Yang perlu untuk kita lakukan adalah mendekonstruksi visi pendidikan agama yang ekslusif ke arah penguatan visi inklusif. Hal ini dianggap penting karena kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme dalam pendidikan agama pada akhirnya akan menyuburkan gerakan radikalisme (yang mengatasnamakan) agama. Namun sebaliknya, keberhasilan dalam menumbuhkan sikap toleran dalam pendidikan agama, akan semakin menciptakan cita-cita perdamaian antar agama. Inilah yang mesti kita renungkan bersama agar pendidikan agama kita tidak menyumbangkan benih-benih konflik antar agama.

Karena itulah, kebijakan pendidikan yang mengabaikan arti penting keanekaragaman dan kemajemukan tidak akan menciptakan kehidupan yang toleran dan pluralis dalam pergaulan sosial. Bahkan cenderung kepada kegagalan yang dapat menimbulkan tragedi kemanusiaan. Inilah yang mesti diantisipasi bahwa merancang sistem pendidikan nasional tidak hanya dapat dicapai dengan mengandalkan penguasaan materi (kognisi), tetapi juga bagaimana membentuk kesadaran beragama dalam tata pergaulan bermasyarakat yang damai tanpa konflik. Merancang sistem pendidikan agama justru menampung nilai-nilai luhur yang mendasari kehidupan masyarakat yang lebih substansial, yakni pencerdasan kehidupan sosial secar lebih luas. Dengan logika pendidikan agama yang seperti ini, maka diharapkan akan tercipta sebuah sistem pendidikan nasional yang sangat menghargai pluralitas, bersikap toleran, dan mengupayakan kehidupan damai di tengah-tengah masyarakat.
Strategi dan Pengembangan Pendidikan Agama Inklusif

Realitas keberagamaan dalam kehidupan masyarakat seringkali nampak tidak sinkron dengan fungsi serta tujuan agama itu sendiri. Hal demikian tergambar dalam beberapa fase 'sejarah buram' agama, dimana agama dianggap tidak mampu untuk menyuarakan kekuatan spiritualnya atau dengan bahasa lain, agama telah kehilangan elan vitalnya dalam menghadapi tantangan zaman. Sebaliknya, agama menjadi pengabsah berbagai bentuk kekerasan. Dalam rentang sejarah pergumulan agama-agama tercatat banyak sekali 'adegan pertikaian' yang bersimbah darah antar umat beragama dengan dalih atas nama penegakan kebenaran. Misalnya, perang antar umat Katolik dengan Protestan pada abad 16, pembantaian kalangan Yahudi oleh NAZI di Jerman, peristiwa perang salib antara umat Islam dengan umat Kristiani hingga berbagai macam bentuk kekerasan dan permusuhan di bawah kibaran bendera agama yang banyak terjadi akhir dekade ini di Indonesia seperti peristiwa Poso, Ambon, Maluku dan lain-lain.

Mengapa hal itu terjadi? Ada salah apa dengan agama? Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang seringkali dilontarkan oleh banyak kalangan. Jika kehadiran agama di muka bumi ini adalah membawa misi perdamaian, mengapa fenomena kekerasan bernuansa agama masih juga sering terjadi. Kesimpulan sementara dikatakan bahwa yang menjadi penyebab utamanya bukanlah ajaran-ajaran yang dibawah oleh setiap agama, melainkan pemahaman umat yang kadang dangkal sehingga tidak mampu menangkap pesan asasi Tuhan seperti bertoleransi, berbuat adil dan menegakkan keadilan, serta selalu menjunjung tinggi nilai-nilai universal kemanusiaan lainnya. Bilamana pesan-pesan asasi Tuhan tersebut dapat dipahami dengan seksama serta dapat diimplementasikan dalam tindak laku, maka niscaya agama akan selalu dalam 'rel utamanya', yakni sebagai pembawa berita kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kehidupan umat manusia secara menyeluruh.

Untuk mencapai tujuan diatas, maka ada suatu kebutuhan yang mendasar yang harus dipenuhi oleh para pemeluk agama masing-masing yaitu sebuah kesadaran penuh dalam rangka melestarikan pesan-pesan agama dan integritas agama. Untuk mewujudkan hal itu, tentunya haruslah ada sebuah gagasan dalam menyelenggarakan pendidikan agama yaitu sebuah kerja-kerja yang konkrit dari semua pemeluk agama. Pesan-pesan dan integritas agama dalam hal ini sangatlah berperan penting dalam dunia pendidikan, karena apa yang ada pada ajaran masing-masing agama tersebut akan menjadi barometer sejauh mana mentalitas anak didik terbentuk serta mereka dapat berperilaku sesuai dengan pemahaman yang didapatnya dari sekolah. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, kita perlu menyusun suatu rumusan konsepsional strategi pengembangan pendidikan agama yang inklusif. Peran tersebut dapat berjalan kalau kemudian kita dapat membuat rancangan-rancangan yang terkonsepsi dan dapat dituangkan dalam metode pendidikan agama dan kurikulum pendidikan yang kemudian harus kita terapkan menurut kebutuhan-kebutuhan yang ada.
Pendidikan Agama Sensitif Pluralisme, Demokrasi, dan HAM
Pluralisme

Pluralitas agama di Indonesia merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari. Bahkan, masalah ini telah diakui dalam konstitusi dan telah ditegaskan adanya jaminan untuk masing-masing pemeluk agama dalam melaksanakan ajaran sesuai dengan keyakinan masing-masing. Kekayaan keragaman ini bila dikelola dengan baik dan posistif, maka akan menjadi modal besar bagi bangsa Indonesia. Namun bisa juga menjadi bencana yang mengandung potensi konflik. Oleh sebab itu, pluralitas agama sebagai kenyataan sosial ini tak jarang menjadi problem.

Mengapa demikian? Sebab, agama di satu sisi dianggap sebagai hak pribadi yang otonom. Namun, di sisi lain dalam kehidupan masyarakat, hak ini memiliki implikasi sosial yang kompleks dalam kehidupan masyarakat. Masing-masing penganut agama meyakini bahwa ajaran dan nilai-nilai yang dianutnya (claim of truth) harus diwartakan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam konteks ini, agama seringkali menjadi potensi konflik dalam kehidupan masyarakat.

Karena itu, pembahasan mengenai pluralisme agama di Indonesia selalu menjadi masalah yang krusial dan selau memiliki peranan penting bagi kelangsungan hidup bangsa. Berbagai upaya untuk mencari titik temu (konvergensi) berbagi nilai-nilai luhur dari beragam agama yang berkembang dalam masyarakat menjadi salah satu faktor determinan bagi integrasi nasional. Terlebih dalam proses pendidikan, seyogyanya siswa didik senantiasa ditumbuhkan pemahaman bahwa hidup dengan keanekaragaman merupakan sunnatullah.

Wujud faktual bangsa Indonesia yang bhineka menuntut sikap toleran yang tinggi dari setiap anggota masyarakat. Sikap toleran tersebut harus dapat diwujudkan oleh semua anggota dan lapisan masyarakat, sehingga terbentuk suatu masyarakat yang kompak tapi beragam, sehingga kaya akan ide-ide. Dalam suatu masyarakat demokratis, perbedaan pendapat justru merupakan hikmah untuk membentuk suatu masyarakat yang mempunnyai horison yang luas dan kaya. Saling pengertian hanya dapat ditumbuhkan apabila komunikasi antarpenduduk dan antaretnis dapat terwujud dengan bebas dan intens.

Keragaman seperti ini merupakan modal besar bagi bangsa Indonesia. Akan tetapi modal ini juga bisa menjadi bencana karena berpotensi untuk menmimbulkan konflik. Apalagi ditambah dengan adannya klaim setiap agama terhadap kebenaran agamanya (claim of truth) masing-masing membawa dampak dalam hubungan antar agama di Indonesia. Tak heran sepanjang enam tahun terakhir ini kita menyaksikan serangkaian kerusuhan yang memakan ribuan korban tewas karena keragaman diatas tadi. Sebutlah kasus Pekalongan (1995), Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1997), Sanggau Ledo, Kalimantan Barat (1996 dan 1997), Ambon dan Maluku sejak 1999, sampai Sampit Kalimantan Timur (2000).

Oleh sebab itu, pendidikan agama harus diarahkan untuk dapat menumbuhkan sikap toleran siswa didik terhadap perbedaan terutama perbedaan agama. Pendidikan pancasila misalnya tidak musti hanya memberikan informasi bahwa bangsa kita adalah majemuk berpulau-pulau, bersuku-suku, beragam etnik, beragam bahasa, beragam budaya, beragam agama, tetapi semestinya lebih ditekankan pada bagimana siswa didik melihat kebhinekaan bangsa Indonesia itu sebagai rahmat yang patut disukuri dengan upaya melestarikannya dengan saling menghargai, menghormati. Semua adalah saudara meskipun berbeda kulit, berbeda suku, berbeda bahasa, berbeda pulau, berbeda agama. Begitu pula dalam pendidikan etika, siswa didik tidak hanya dibekali pengetahuan tentang bagimana saling menghargai, menghormati antar sesama. Perlu ditumbuhkan kesadaran universal bahwa kita adalah makhluk Tuhan yang sama, diciptakan dari asal yang sama, Tuhan tidak membeda-bedakan diantara makhluknya. Yang dinilai oleh Tuhan adalah ketaatannya dan perbuatan baiknya, bukan dari suku mana, atau beragama apa.
Demokrasi

Kebutuhan akan tumbuhnya demokrasi di Indonesia, sudah tak dapat ditawar lagi. Walaupun secara historis term demokrasi berasal dari luar Islam dan ini masih sering diperdebatkan, tapi secara pragmatis konsep ini ternyata tetap relevan untuk diperjuangkan. Pijakan-pijakan demokrasi dapat ditemukan pada ajaran-ajaran al-Qur'an dan praktis historis masa nabi dan al-khulafa' al-Rassyidun. Paling tidak dapat dilihat dalam firman Allah yang mengatakan "wa syaawirhum fi al 'amr" (3:159) (bermusyawaralah dengan mereka dalam menyelesaikan persoalan), atau dalam ayat lain: "wa amruhum syura baynahum" (41:38) (mereka menyelesaikan masalah dengan musyawarah).

Menurut pandangan Jalaluddin Rahmat, demokrasi merupakan konsep bagi sistem politik yang didasarkan pada dua prinsip, yakni partisipasi politik, dan hak asasi manusia. Prinsip-prinsip ini menyebabkan rakyat berpartisipasi dalam keputusan-keputusan publik dan melindungi hak-hak asasi manusia, yakni hak kebebasan berbicara, hak mengontrol kekuasaan dan hak persamaan di muka hukum. Konsep demokrasi ini tidak hanya sesuai dengan Islam, tetapi menurutnya juga merupakan perwujudan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa.

Senada dengan itu, Amin Rais telah menafsirkan syura (musyawarah) dalam al-Qur'an, 3:159 dan 41:38 di atas, sebagai prinsip penolakan terhadap elitisme. Elitisme adalah pandangan yang membenarkan bahwa hanya pemimpin (elit) yang mengetahui bagaiman mengatur dan mengelola negara, sedangkan rakyat hanyalah massa pasif yang hanya mengikuti kehendak kaum elit. Menurut Amin, mungkin benar mengatakan bahwa syura dapat disebut demokarasi, tetapi dia secara sengaja menghindari istilah itu dalam konteks politik Islam, karena saat ini istilah demokrasi menjadi konsep yang disalahpahami, dalam pengertian dapat menyebut sistem mereka demokratis.

Konsep syura, dapat berperan sebagai benteng yang kuat untuk menentang pelanggaran negara, otoritarianisme, despotisme, kediktatoran dan sistem-sistem lain yang mengabaikan hak-hak politik rakyat. Dalam konteks demokrasi, partisipasi politik rakyat sangat dihormati sepenuhnya dalam proses penyelenggaraan negara, karena mereka pada hakekatnya adalah pemilik negara; mereka seolah-olah menerima mandat dari Tuhan, sementara para pemimpin hanyalah pelayan rakyat. Prinsip ini juga mengenalkan persyaratan bahwa kekuasaan negara harus dipilih secara bebas oleh rakyat, berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat. Adapun sistem monarki jelas tidak sesuai dengan Islam, karena sebuah sistem monarki, dimana raja hanya sebuah simbol kekuasan yang sebenarnya tetap berada pada rakyat. Seperti kerajaan Inggris, jelas lebih sesuai dengan Islam daripada sistem monarki kerajaan di Saudi Arabia, misalnya. Sebab, yang pertama kedaulatan berada di tangan rakyat dan kekuasaan yang sebenarnya dipilih oleh rakyat tiap empat puluh tahun sekali. Sementara yang kedua kedaulatan raja dan para bangsawan adalah pewaris negara dan tidak bertanggung jawab terhadap rakyat.

Mengembangkan sikap demokratis dan membentuk individu yang mempunyai harga diri, berbudaya dan memiliki identitas sebagai bangsa Indonesia yang bhineka tersebut perlu didukung oleh suatu sistem pendidikan yang juga mengembangkan sikap demokrasi. Tujuan pendidikan demokrasi adalah mewujudkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri, seperti pluralisme dan egalitarianisme. Nilai-nilai demokrasi yang ingin dicapai bukan berada di luar aktivitas pendidikan, tetapi inheren di dalamnya. Dengan demikian institusi pendidikan, keluarga, lingkungan masyarakat secara umum merupakan wadah alamiah perwujudan masyarakat berkeadaban.

Pendidikan demokrasi untuk yang merupakan prasyarat bagi terbentuknya masyarakat Indonesia yang berkeadaban, pada dasarnya mensyaratkan berbagai hal, antara lain; kebebasan politik, kebebasan intelektual, kesempatan untuk bersaing. Pendidikan yang mengembangkan kepatuhan moral, pendidikan yang mengakui hak untuk berbeda.
HAM

Secara umum, HAM (Hak-hak Asasi Manusia) adalah hak-hak yang diberikan oleh Tuhan secara langsung kepada manusia. Karenanya tidak ada kekuasaan yang mencabut hak-hak tersebut. Jika seseorang telah berlebihan dalam menjalankan hak-hak yang dimilikinya tentu akan melangkahi hak-hak orang lain yang ada di sekitarnya.

Tidak dibantah, kalau umat umat Islam sering kali mendapat tudingan bahwa tidak menghormati HAM. Pasalnya, sebagian muslim memang tidak sedikit memiliki pemahaman yang bias terhadap HAM ini. Bagi sebagian muslim ini, konsep HAM yang dikembangkan ditenggarai tidak sesuai dengan Islam.

Terlepas dari konsep HAM perspektif Islam sebagaimana telah dirumuskan di Kairo, atau konsep HAM universal yang dibuat oleh PBB, dalam kenyataannya tetap memunculkan kecurigaan kalau HAM belum sepenuhnya dapat dilaksanakan dalam masyarakat Islam. Ada beberapa pemahaman mendasar yang perlu dikaji ulang, sebab HAM dalam Islam -seperti yang dinyatakan dalam kompilasi hukum syari'ah- hanya merupakan hak istimewa bagi orang-orang dalam kapasitas hukum penuh. Seseorang dalam kapasitas hukum penuh adalah manusia dewasa, bebas dan muslim. Jadi sebagai akibatnnya non muslim dan budak yang hidup di negara Islam hanya dilindungi secara parsial oleh hukum atau tidak memiliki kapasitas hukum sama sekali.

Dalam masalah kebebasan beragama, juga terdapat perbedaan menyangkut seorang muslim yang murtad (keluar, pindah ke agama lain). Kalu melihat hadist Nabi yang menyatakan barang siapa yang berpindah agama, maka bunuhlah, berarti hukuman mati berlaku bagi si murtad tadi. Ketika wacana ini dihubungkan dengan konteks HAM, setidaknya terdapat dua pendapat mengenai teks ini;

Pertama, yang setuju dengan ketentuan ini seperti yang dikatakan Tahir Azhari. Sebab Islam betul-betul memberikan kebebasan kepada semua orang untuk memilih Islam atau agama lain. Akan tetapi, jika ia telah memilih Islam dia harus tetap menjadi muslim selama-lamanya, karena hal itu membuktikan bahwa dia tidak mempermainkan Tuhan.

Kedua, seperti yang diwakili oleh Syafii Maarif, berpendapat sebaliknya. Bahwa yang berhak menghukum orang murtad hanyalah Tuhan. Hubungan antar manusia hanya didasarkan atas prinsip saling menghormati, bukan saling meniadakan. Jika tetap menjadi hak setiap orang untuk berpindah agama, selama perpindahan ini didasarkan pada kebebasan berkehendak.

Karena itulah, konsep HAM yang benar-benar genuine dan mampu mengakomodir kepentingan semua pihak jelas harus dikembangkan dalam Islam. Meskipun nantinya akan melahirkan pro dan kontra atau polemik, namun setidaknya dengan maraknya wacana HAM universal ini, dapat memulihkan citra Islam dari tudingan bahwa Islam sangatlah diskriminatif mengenai HAM.

Fungsi pendidikan sensitif HAM adalah bagaimana menumbuhkan sikap dan prilaku siswa didik yang mengakui dan menghormati hak-hak orang lain, taat dan patuh terhadap aturan-aturan dan hukum. Jika pemahaman yang demikian telah tertanam dalam jiwa siswa didik dan mereka dapat mempraktekkannya dalam kehidupan bermasyarakat, maka institusi pendidikan dapat dianggap telah berhasil.

Pendidikan agama dapat berperan penting dalam menumbuhkan paradigma hidup dalam mewujudkan peradaban baru bagi generasi masa depan.

~ Wallahu a'lam ~

* Alumni MAK '97 Mambaus Sholihin, juga sudah rampung S1 UIN Jakarta th. 2000, sekarang sedang menempuh studi S2 UNJ pada program Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Aktif di beberapa forum mahasiswa dan kepemudaan serta NGO.

by http://www.mambaussholihin.com/

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan sisipkan komentar Anda. Terimakasih