1.17.2009

HARGA MATI


Saat pulang dari masjid ba'da jum'at tadi, saya melihat plang di depan kantor kodim persis disamping masjid raya kotabaru bertuliskan " NKRI ADALAH HARGA MATI ". Saya diam sejenak teringat pilunya rakyat palestina yg diperangi dibantai dihabisi oleh zionis israel saya terdiam dan ingin sekali mengganti tulisan tersebut menjadi " SYAHID ADALAH HARGA MATI " itulah yg saya harapkan dari umat islam di seluruh dunia.

Ladang jihad terbuka utk kita, kita bisa ke surga setiap saat. Hari ini ribuan saudara kita berduka, anak2 kita kehilangan kecilnya, para sukarelawan pun tak luput dari serangan, tempat2 suci dan areal belajar telah pula hancur, pemimpin - pemimpin kita yg hanya berjuang demi cinta telah syahid bersama keluarga dan anak tercintanya.
Apa lagi yg kita tunggu, kita disini sibuk dgn ruitinitas mengumpul tahta, menambah berat badan dgn makan minum yg bersumber dari zionis yg telah menghancurkan saudara seiman kita.
Sebagai saudara seiman mari kita saling mengingatkan dan merapatkan barisan utk andil dalam jihad yaitu dengan memboikot produk - produk yang sebagian besar dananya utk nuklir dan senjata israel.
ALLAHU AKBAR.. ALLAHU AKBAR.. ALLAHU AKBAR..
ALLAH adalah TUJUAN KAMI
RASULLULOH adalah TELADAN KAMI
AL'QURAN adalah PEDOMAN HIDUP KAMI
MATI DIJALAN ALLAH adalah CITA-CITA KAMI TERTINGGI
Read More..

Gambar di atas adalah sebuah rancangan mengenai rumah masa depan. Vincent Callebaut, seorang arsitek dari Belgia, mengajukan suatu terobosan baru untuk konsep rumah impian masa depan. Konsep tersebut dinamainya Daun Bunga Lili. Terobosan ini dipikirkan dan dirancang oleh Vincent untuk menghadapi masalah perubahan iklim dan kepadatan. Konsep ini merupakan prototipe rumah amfibi yang dapat menghidupi diri sendiri, dan masing-masing rumah “daun” ini dapat menampung sampai dengan 50.000 orang.

Di tengah rumah ini, terdapat sebuah danau yang berguna untuk menyimpan dan menjernihkan air hujan. Rumah terapung ini sama sekali tidak membutuhkan jalan atau jalur. Rumah terapung ini akan hanyut mengikuti pergerakan arus laut.
Desain daun ini dapat memuat 3 marina dan 3 gunung yang dikhususkan sebagai kota bisnis dan hiburan. Kota terapung ini unik, karena kota ini merupakan kota amfibi, setengah kota air dan setengah kota darat. Kota ini mendapat sumber daya dari matahari, angin, dan arus laut, yang akan memproduksi lebih banyak energi daripada energi yang dikonsumsi oleh kota terapung ini. Dan kota ini akan menjadi kota yang beremisi nol atau bisa disebut tidak mengeluarkan gas buangan, karena semua karbon dan limbah akan di daur ulang.
Harapannya adalah pada tahun 2100 akan ada 250 juta orang yang melarikan diri dari perubahan cuaca, atau yang disebut “Climactic Refugee”, karena air laut akan menghancurkan kota-kota besar seperti New York, Shanghai, dan Bombai. Vincent percaya, bahwa konsep buatannya ini adalah solusi jangka panjang untuk menghadapi naiknya air laut, dan bukannya memperkuat garis pantai, karena solusi garis pantai ini hanyalah solusi jangka pendek. Desain dari kota terapung ini terinspirasi oleh daun Amazonia Victoria Regia. Sekadar catatan, daun Amazonia Victoria Regia adalah tanaman yang memiliki tulang daun yang sangat rapat.

Read More..
Kita memang tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Begitu pula perkembangan teknologi. Kita tak akan tahu bagaimana nasib Asimo atau apakah manusia jadi tinggal di Mars dan lain sebagainya. Termasuk juga kita tak akan tahu bagaimana bentuk bohlam (sebenarnya saya ragu yang benar itu bohlam atau bolham) dimasa depan.

Sebagai manusia, kita bisa merancang konsep yang kita inginkan (sekalipun belum tentu akan disukai orang lain). Seperti yang dilakukan oleh Joonhuyn Kim yang merubah bentuk bolham tradisional (gemuk, cembung dan terbuat dari kaca) menjadi berbentuk datar. Desain ini diklaim mampu menghemat biaya pembuatannya hingga 30% dan tentunya menghemat space saat pengiriman barang. Kok bisa menghemat space? karena bentuknya yang datar, sehingga ruang tak terpakai diantara satu bolham dan bolham yang lain bisa diminimalkan. Ya.. seperti ceritanya semangka kotak di jepang itu.. Ada-ada saja ya idenya..

link terhubung http://shirogadget.com/
Read More..

Konsep masa depan [part 1]

Sebuah konsep memang terkadang sangat diluar dugaan, dengan alat semakin sederhana namun terlihat dan berfungsi makin canggih, ya namanya saja konsep Entah dapat diterapkan dan diciptakan atau memang hanya sebatas ide saja.


Semua berawal dari fantasy dari sebuah mimpi hingga tercipta sebuah karya - karya besar. Janganlah takut untuk bermimpi membangun sebuah kerajaan baru di bumi tercinta ini.
Selengkapnya klik disini
link by http://www.beritaunik.com/
Read More..

Pelangi Nusantara

Pengaruh Kemajemukan Masyarakat

Pernahkah anda perhatikan keadaan masyarakat Indonesia ? Bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke ini, terdiri dari bermacam suku bangsa, budaya, ras dan agama. Disebut juga masyarakat majemuk atau multikultur.

Kondisi masyarakat seperti ini jika berjalan serasi dan harmonis akan menciptakan integrasi sosial. Jika tidak, terjadilah disintegrasi sosial atau konflik sosial. Pengaruh kemajemukan masyarakat yang perlu diperhatikan karena dapat menimbulkan konflik sosial adalah munculnya sikap primordial (primordialisme) yang berlebihan dan stereotip etnik.

Perubahan sosial budaya pasti dialami setiap masyarakat. Tidak ada satu masyarakat yang dapat menghindari perubahan ini. Ada perubahan yang mencolok, ada yang kecil sekali sehingga tidak terlihat atau tidak terasa. Salah satu bentuk dari perubahan sosial budaya yang terarah dan direncanakan adalah modernisasi. Selain modernisasi perubahan sosial budaya juga menimbulkan dampak munculnya westernisasi yang sering disalah artikan sebagai modernisasi.


Primodialisme


Menurut anda apakah pengaruh kemajemukan masyarakat terhadap integrasi bangsa? Pengaruh kemajemukan masyarakat Indonesia berdasarkan sukubangsa, ras dan agama dapat dibagi atas pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positifnya adalah terdapat keanekaragaman budaya yang
terjalin serasi dan harmonis sehingga terwujud integrasi bangsa. Pengaruh negatif, munculnya sikap primordial (primordialisme) yang berlebihan yang mewarnai interaksi sosial sehingga muncul
disintegrasi atau konflik sosial.

Karena adanya sikap primordial kebudayaan daerah, agama dan kebiasaan di masa lalu tetap bertahan sampai kini. Sikap primordial yang berlebihan disebut
etnosentris. Jika sikap ini mewarnai interaksi di masyarakat maka akan timbul konflik, karena setiap anggota masyarakat akan mengukur keadaan atau situasi berdasarkan nilai dan norma kelompoknya. Sikap ini menghambat tejadinya integrasi sosial atau integrasi bangsa. Bisakah anda memberi contoh sikap etnosentris? Agar sikap ini tidak muncul, primordialisme harus diimbangi tenggang rasa dan toleransi.

Stereotip Etnik

Interaksi sosial dalam masyarakat majemuk sering diwarnai dengan stereotip etnik yaitu pandangan (image) umum suatu kelompok etnis terhadap kelompok etnis lain (Horton & Hunt). Cara pandang stereotip diterapkan tanpa pandang bulu terhadap semua anggota kelompok etnis yang distereotipkan, tanpa memperhatikan adanya perbedaan yang bersifat individual. Stereotip etnis disalah tafsirkan dengan menguniversalkan beberapa ciri khusus dari beberapa anggota kelompok etnis kepada ciri khusus seluruh anggota etnis.

Dengan adanya beberapa orang dari sukubangsa A yang tidak berpendidikan formal atau berpendidikan formal rendah, orang dari suku lain (B) menganggap semua orang dari sukubangsa A berpendidikan rendah. Orang dari luar suku A menganggap suku bangsanya yang paling baik dengan berpendidikan tinggi. Padahal anggapan itu bisa saja keliru karena tidak semua orang dari sukubangsa di luar sukubangsa A berpendidikan tinggi, banyak orang dari luar sukubangsa A yang berpendidikan rendah. Jika interaksi sosial diwarnai stereotip negatip, akan terjadi disintegrasi sosial. Orang akan memberlakukan anggota
kelompok etnis lain berdasarkan gambaran stereotip tersebut. Agar integrasi sosial tidak rusak, setiap anggota masyarakat harus menyadari bahwa selain sukubangsa ada faktor lain yang
mempengaruhi sikap seseorang, yaitu pendidikan, pengalaman, pergaulan dengan kelompok lain, wilayah tempat tinggal, usia dan kedewasaan jiwa.

link terhubung by http://www.e-dukasi.net/
Read More..
1.12.2009

Wajah Pendidikan Agama Kita


Oleh Muhibuddin*

Problematika pendidikan agama secara umum di Indonesia adalah lambannya upaya-upaya re-orientasi pendidikan agama secara mendasar sehingga diharapkan mampu menghasilkan out put yang disamping memiliki kompetensi juga berkarakter (berkepribadian) yang baik. Re-orientasi yang dimaksud adalah bertujuan untuk menjawab berbagai kritik mengenai gagalnya pendidikan agama di Indonesia selama ini. Dalam kaitan ini, pendidikan agama harus diarahkan menjadi bentuk pendidikan yang berkeadaban. Yakni, pendidikan agama yang mampu menumbuhkan kesadaran keberagamaan siswa didik yang berisi berbagai hal mendasar seperti kesadaran akan Tuhan, komitmen moral, rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial.

Oleh karena itu, pendidikan agama seyogyanya tidak hanya mengedepankan pengkayaan aspek kognitif semata, tetapi juga pembentukan karakter dengan pembenahan segi afektif serta pemberian ruang kebebasan untuk mengembangkan kreatifitas dengan rangsangan pada aspek psiko-motorik merupakan hal yang penting untuk dilaksanakan secara seimbang. Dengan kata lain yang lebih singkat agama haruslah diajarkan secara total dan tuntas.

Belajar Agama Secara Tuntas, Bukan Sekedar Hafalan

Membicarakan pendidikan agama adalah membicarakan tentang keyakinan, pandangan dan cita-cita hidup dan kehidupan umat manusia dari generasi ke generasi. Pendidikan agama tidak dapat dipahami sebatas 'pengajaran agama'. Karena itu, parameter keberhasilan pendidikan agama tidak cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh anak menguasai hal-hal yang bersifat kognitif atau pengetahuan tentang ajaran agama atau ritus-ritus keagamaan semata. Lebih-lebih penilaian yang diberikan melalui 'angka-angka' yang didasarkan pada seberapa siswa didik menguasai materi sesuai dengan buku ajar. Justru penekanan yang lebih penting adalah seberapa dalam tertanamnya nilai-nilai keagamaan tersebut dalam jiwa dan seberapa dalam pula nilai-nilai tersebut terwujud dalam tingkah laku dan budi pekerti siswa didik sehari-hari. Wujud nyata nilai-nilai tersebut dalam tingkah laku dan budi pekerti sehari-hari akan melahirkan budi luhur (akhlakul karimah). Karena itu pendidikan agama adalah pendidikan untuk pertumbuhan total seorang manusia.

Seorang tokoh filsafat perennial, Seyyed Hossein Nasr, menegaskan bahwa pendidikan agama (Islam) musti berkepedulian dengan seluruh manusia untuk dididik. Tujuannya bukan hanya melatih pikiran, melainkan juga melatih seluruh wujud pribadi. Itulah yang menyebabkan mengapa pendidikan agama (Islam) bukan hanya menyampaikan pengetahuan (al-Ta'lim), tetapi juga melatih seluruh diri siswa (al-Tarbiyah). Fungsi guru bukan sekedar seorang muallim, penyampai pengetahuan, tetapi juga seorang murabbi, pelatih jiwa dan kepribadian.

Sementara itu, model pendidikan agama hendaknya tidak menekankan pada metode hafalan. Alasannya, metode hafalan hanya memperkaya wilayah kognitif semata, sehingga mengesankan pendidikan agama hanya bersifat 'formalitas' semata. Siswa didik kurang diajak untuk memasuki wilayah pemahaman, penghayatan serta pengamalan ajaran agama. Namun pada kenyataannya saat ini, parameter keberhasilan pendidikan agama selama ini masih diukur dari penguasaan aspek kognitif tentang agama yang ada di buku, bukan pada aspek afektif yang menuju pada pembentukan perilaku siswa didik. Dengan demikian perlu adanya upaya re-oirentasi, yaitu perubahan proses yang diawali dengan merubah metodologi, dari hafalan menjadi penciptaan kompetensi berbasiskan agama. Dengan berbasis kompetensi semacam ini, pendidikan agama diorientasikan untuk menciptakan perilaku siswa didik yang sesuai dengan ajaran agama. Penekanan kompetensi berbasis agama ini juga mengandaikan pendidikan agama dilaksanakan dengan menyeimbangkan tiga aspek sekaligus, yakni; aspek Iman, aspek Ilmu, dan aspek Amal.

Sungguhpun demikian, di antara tiga hal tersebut yang dapat dijadikan tolok ukur adalah sejauhmana pengamalan ajaran agama yang telah diajarkan di sekolah, sebab meskipun siswa didik mampu menguasai materi pelajaran agama yang didapat disekolah, dus juga dianggap memiliki iman yang kuat, tetapi prilakunya buruk, maka pendidikan agama dapat dianggap belum berhasil.
Menggagas Pendidikan Agama "Rahmatan Lil Alamin"

Salah satu fungsi pendidikan agama adalah mejadikannya 'rahmatan lil alamin'. Cita-cita semacam ini senafas dengan kandungan nilai-nilainya yang universal serta berpihak kepada kemanusiaan. Kedua, semangat ini memuat pemahaman bahwa agama tidaklah diperuntukkan bagi segolongan manusia semata, tetapi agama diwahyukan untuk seluruh makhluk. Agama merupakan solusi bagi terciptanya perdamaian, kebahagiaan bagi seluruh makhluk terutama umat manusia sebagai khalifatullah fi al-ardl. Semangat yang demikian itulah yang semestinya menjadi spirit pendidikan agama di semua institusi pendidikan, dan bukan sebaliknya, agama hanya diajarkan sebatas ritual semata. Nilai-nilai ajaran agama yang menjunjung tinggi pluralisme, toleransi, menerima perbedaan, setiakawanan sosial, saling menghormati, menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan menghargai hak asasi orang lain seharusnya menjadi topik-topik pokok dalam pengajaran agama.

Lebih dalam dari itu, pengajaran nilai-nilai luhur itu tidak hanya sebatas mendorong agar siswa didik menghafal dan mengetahui, tetapi juga perlu ditekankan agar siswa didik mampu memahami dan menghayati secara mendalam (menginternalisasikan) serta mampu memperaktekkannya (mengaktualisasikan) dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga apa yang telah diketahui, difahami, dan dihayati tersebut dapat berbanding lurus dengan perilaku keseharian dalam hidup bermasyarakat.

Pendidikan agama yang ber fungsi sebagai media penyadaran umat, pada kenyataannya saat ini dihadapakan pada problem bagaimana ia dapat dijadikan sebagai institusi yang dapat mengembangkan sebuah teologi inklusif dan pluralis. Dengan begitu, dalam masyarakat akan tumbuh pemahaman yang inklusif. Sehingga harmonisasi agama-agama ditengah kehidupan masyarakat dapat terwujud. Tertanamnya kesadaran pluralitas yang demikian itu, niscaya akan menghasilkan corak paradigma beragama yang hanif dan toleran. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya-upaya untuk merubah paradigma pendidikan yang eksklusif menuju paradigma pendidikan agama yang toleran dan inklusif.

Model pengajaran agama yang hanya menekankan kebenaran agamanya sendiri dan ketidak-benaran agama lain, seharusnya direorientasi. Konsepsi pemahaman yang biner seperti iman-kafir, muslim-nonmuslim dan baik-benar, yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat terhadap agama lain misalnya, mau tidak mau harus 'dibongkar ulang' agar sekelompok penganut agama tidak lagi memandang agama lain sebagai agama yang 'salah' dan tidak ada jalan keselamatan kecuali dalam agama yang diyakininya. Sebab cara pandang atau pemahaman teologis yang ekslusif dan intoleran yang demikian pada gilirannya akan dapat merusak harmonisasi agama-agama dan menghilangkan sikap untuk saling menghargai kebenaran dari agama lain.

Dari hasil penelitian yang sebagaimana diungkapkan oleh Amin Abdullah bahwa guru-guru agama di sekolah yang berperan sebagai ujung tombak pendidikan agama dari tingkat yang paling bawah hingga yang paling tinggi atau dari TK sampai perguan tinggi, nyaris kurang (untuk tidak mengatakan sama sekali) tersentuh oleh gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme dan dialog antar umat beragama. Padahal, guru-guru inilah yang menjadi mediator pertama untuk menterjemahkan nilai-nilai toleransi dan pluralisme kepada siswa, yang pada tahap selanjutnya juga ikut berperan aktif dalam mentransfomasikan kesadaran toleransi secara lebih intensif dan massif.

Karena itulah, meminjam filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh Paulo Freire, bahwa fungsi pendidkan adalah untuk pembebasan, bukan untuk penguasaan (dominasi). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural domestication). Tujuan pendidikan adalah untuk menggarap realitas manusia, dan karena itu, secara metodologis bertumpu pada prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menjumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas.

Dengan cara pandang seperti ini, maka sekarang kita mesti melakukan 'pembebasan' terhadap pendidikan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat dengan memberikan warna yang lebih inklusif. Yang perlu untuk kita lakukan adalah mendekonstruksi visi pendidikan agama yang ekslusif ke arah penguatan visi inklusif. Hal ini dianggap penting karena kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme dalam pendidikan agama pada akhirnya akan menyuburkan gerakan radikalisme (yang mengatasnamakan) agama. Namun sebaliknya, keberhasilan dalam menumbuhkan sikap toleran dalam pendidikan agama, akan semakin menciptakan cita-cita perdamaian antar agama. Inilah yang mesti kita renungkan bersama agar pendidikan agama kita tidak menyumbangkan benih-benih konflik antar agama.

Karena itulah, kebijakan pendidikan yang mengabaikan arti penting keanekaragaman dan kemajemukan tidak akan menciptakan kehidupan yang toleran dan pluralis dalam pergaulan sosial. Bahkan cenderung kepada kegagalan yang dapat menimbulkan tragedi kemanusiaan. Inilah yang mesti diantisipasi bahwa merancang sistem pendidikan nasional tidak hanya dapat dicapai dengan mengandalkan penguasaan materi (kognisi), tetapi juga bagaimana membentuk kesadaran beragama dalam tata pergaulan bermasyarakat yang damai tanpa konflik. Merancang sistem pendidikan agama justru menampung nilai-nilai luhur yang mendasari kehidupan masyarakat yang lebih substansial, yakni pencerdasan kehidupan sosial secar lebih luas. Dengan logika pendidikan agama yang seperti ini, maka diharapkan akan tercipta sebuah sistem pendidikan nasional yang sangat menghargai pluralitas, bersikap toleran, dan mengupayakan kehidupan damai di tengah-tengah masyarakat.
Strategi dan Pengembangan Pendidikan Agama Inklusif

Realitas keberagamaan dalam kehidupan masyarakat seringkali nampak tidak sinkron dengan fungsi serta tujuan agama itu sendiri. Hal demikian tergambar dalam beberapa fase 'sejarah buram' agama, dimana agama dianggap tidak mampu untuk menyuarakan kekuatan spiritualnya atau dengan bahasa lain, agama telah kehilangan elan vitalnya dalam menghadapi tantangan zaman. Sebaliknya, agama menjadi pengabsah berbagai bentuk kekerasan. Dalam rentang sejarah pergumulan agama-agama tercatat banyak sekali 'adegan pertikaian' yang bersimbah darah antar umat beragama dengan dalih atas nama penegakan kebenaran. Misalnya, perang antar umat Katolik dengan Protestan pada abad 16, pembantaian kalangan Yahudi oleh NAZI di Jerman, peristiwa perang salib antara umat Islam dengan umat Kristiani hingga berbagai macam bentuk kekerasan dan permusuhan di bawah kibaran bendera agama yang banyak terjadi akhir dekade ini di Indonesia seperti peristiwa Poso, Ambon, Maluku dan lain-lain.

Mengapa hal itu terjadi? Ada salah apa dengan agama? Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang seringkali dilontarkan oleh banyak kalangan. Jika kehadiran agama di muka bumi ini adalah membawa misi perdamaian, mengapa fenomena kekerasan bernuansa agama masih juga sering terjadi. Kesimpulan sementara dikatakan bahwa yang menjadi penyebab utamanya bukanlah ajaran-ajaran yang dibawah oleh setiap agama, melainkan pemahaman umat yang kadang dangkal sehingga tidak mampu menangkap pesan asasi Tuhan seperti bertoleransi, berbuat adil dan menegakkan keadilan, serta selalu menjunjung tinggi nilai-nilai universal kemanusiaan lainnya. Bilamana pesan-pesan asasi Tuhan tersebut dapat dipahami dengan seksama serta dapat diimplementasikan dalam tindak laku, maka niscaya agama akan selalu dalam 'rel utamanya', yakni sebagai pembawa berita kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kehidupan umat manusia secara menyeluruh.

Untuk mencapai tujuan diatas, maka ada suatu kebutuhan yang mendasar yang harus dipenuhi oleh para pemeluk agama masing-masing yaitu sebuah kesadaran penuh dalam rangka melestarikan pesan-pesan agama dan integritas agama. Untuk mewujudkan hal itu, tentunya haruslah ada sebuah gagasan dalam menyelenggarakan pendidikan agama yaitu sebuah kerja-kerja yang konkrit dari semua pemeluk agama. Pesan-pesan dan integritas agama dalam hal ini sangatlah berperan penting dalam dunia pendidikan, karena apa yang ada pada ajaran masing-masing agama tersebut akan menjadi barometer sejauh mana mentalitas anak didik terbentuk serta mereka dapat berperilaku sesuai dengan pemahaman yang didapatnya dari sekolah. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, kita perlu menyusun suatu rumusan konsepsional strategi pengembangan pendidikan agama yang inklusif. Peran tersebut dapat berjalan kalau kemudian kita dapat membuat rancangan-rancangan yang terkonsepsi dan dapat dituangkan dalam metode pendidikan agama dan kurikulum pendidikan yang kemudian harus kita terapkan menurut kebutuhan-kebutuhan yang ada.
Pendidikan Agama Sensitif Pluralisme, Demokrasi, dan HAM
Pluralisme

Pluralitas agama di Indonesia merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari. Bahkan, masalah ini telah diakui dalam konstitusi dan telah ditegaskan adanya jaminan untuk masing-masing pemeluk agama dalam melaksanakan ajaran sesuai dengan keyakinan masing-masing. Kekayaan keragaman ini bila dikelola dengan baik dan posistif, maka akan menjadi modal besar bagi bangsa Indonesia. Namun bisa juga menjadi bencana yang mengandung potensi konflik. Oleh sebab itu, pluralitas agama sebagai kenyataan sosial ini tak jarang menjadi problem.

Mengapa demikian? Sebab, agama di satu sisi dianggap sebagai hak pribadi yang otonom. Namun, di sisi lain dalam kehidupan masyarakat, hak ini memiliki implikasi sosial yang kompleks dalam kehidupan masyarakat. Masing-masing penganut agama meyakini bahwa ajaran dan nilai-nilai yang dianutnya (claim of truth) harus diwartakan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam konteks ini, agama seringkali menjadi potensi konflik dalam kehidupan masyarakat.

Karena itu, pembahasan mengenai pluralisme agama di Indonesia selalu menjadi masalah yang krusial dan selau memiliki peranan penting bagi kelangsungan hidup bangsa. Berbagai upaya untuk mencari titik temu (konvergensi) berbagi nilai-nilai luhur dari beragam agama yang berkembang dalam masyarakat menjadi salah satu faktor determinan bagi integrasi nasional. Terlebih dalam proses pendidikan, seyogyanya siswa didik senantiasa ditumbuhkan pemahaman bahwa hidup dengan keanekaragaman merupakan sunnatullah.

Wujud faktual bangsa Indonesia yang bhineka menuntut sikap toleran yang tinggi dari setiap anggota masyarakat. Sikap toleran tersebut harus dapat diwujudkan oleh semua anggota dan lapisan masyarakat, sehingga terbentuk suatu masyarakat yang kompak tapi beragam, sehingga kaya akan ide-ide. Dalam suatu masyarakat demokratis, perbedaan pendapat justru merupakan hikmah untuk membentuk suatu masyarakat yang mempunnyai horison yang luas dan kaya. Saling pengertian hanya dapat ditumbuhkan apabila komunikasi antarpenduduk dan antaretnis dapat terwujud dengan bebas dan intens.

Keragaman seperti ini merupakan modal besar bagi bangsa Indonesia. Akan tetapi modal ini juga bisa menjadi bencana karena berpotensi untuk menmimbulkan konflik. Apalagi ditambah dengan adannya klaim setiap agama terhadap kebenaran agamanya (claim of truth) masing-masing membawa dampak dalam hubungan antar agama di Indonesia. Tak heran sepanjang enam tahun terakhir ini kita menyaksikan serangkaian kerusuhan yang memakan ribuan korban tewas karena keragaman diatas tadi. Sebutlah kasus Pekalongan (1995), Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1997), Sanggau Ledo, Kalimantan Barat (1996 dan 1997), Ambon dan Maluku sejak 1999, sampai Sampit Kalimantan Timur (2000).

Oleh sebab itu, pendidikan agama harus diarahkan untuk dapat menumbuhkan sikap toleran siswa didik terhadap perbedaan terutama perbedaan agama. Pendidikan pancasila misalnya tidak musti hanya memberikan informasi bahwa bangsa kita adalah majemuk berpulau-pulau, bersuku-suku, beragam etnik, beragam bahasa, beragam budaya, beragam agama, tetapi semestinya lebih ditekankan pada bagimana siswa didik melihat kebhinekaan bangsa Indonesia itu sebagai rahmat yang patut disukuri dengan upaya melestarikannya dengan saling menghargai, menghormati. Semua adalah saudara meskipun berbeda kulit, berbeda suku, berbeda bahasa, berbeda pulau, berbeda agama. Begitu pula dalam pendidikan etika, siswa didik tidak hanya dibekali pengetahuan tentang bagimana saling menghargai, menghormati antar sesama. Perlu ditumbuhkan kesadaran universal bahwa kita adalah makhluk Tuhan yang sama, diciptakan dari asal yang sama, Tuhan tidak membeda-bedakan diantara makhluknya. Yang dinilai oleh Tuhan adalah ketaatannya dan perbuatan baiknya, bukan dari suku mana, atau beragama apa.
Demokrasi

Kebutuhan akan tumbuhnya demokrasi di Indonesia, sudah tak dapat ditawar lagi. Walaupun secara historis term demokrasi berasal dari luar Islam dan ini masih sering diperdebatkan, tapi secara pragmatis konsep ini ternyata tetap relevan untuk diperjuangkan. Pijakan-pijakan demokrasi dapat ditemukan pada ajaran-ajaran al-Qur'an dan praktis historis masa nabi dan al-khulafa' al-Rassyidun. Paling tidak dapat dilihat dalam firman Allah yang mengatakan "wa syaawirhum fi al 'amr" (3:159) (bermusyawaralah dengan mereka dalam menyelesaikan persoalan), atau dalam ayat lain: "wa amruhum syura baynahum" (41:38) (mereka menyelesaikan masalah dengan musyawarah).

Menurut pandangan Jalaluddin Rahmat, demokrasi merupakan konsep bagi sistem politik yang didasarkan pada dua prinsip, yakni partisipasi politik, dan hak asasi manusia. Prinsip-prinsip ini menyebabkan rakyat berpartisipasi dalam keputusan-keputusan publik dan melindungi hak-hak asasi manusia, yakni hak kebebasan berbicara, hak mengontrol kekuasaan dan hak persamaan di muka hukum. Konsep demokrasi ini tidak hanya sesuai dengan Islam, tetapi menurutnya juga merupakan perwujudan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa.

Senada dengan itu, Amin Rais telah menafsirkan syura (musyawarah) dalam al-Qur'an, 3:159 dan 41:38 di atas, sebagai prinsip penolakan terhadap elitisme. Elitisme adalah pandangan yang membenarkan bahwa hanya pemimpin (elit) yang mengetahui bagaiman mengatur dan mengelola negara, sedangkan rakyat hanyalah massa pasif yang hanya mengikuti kehendak kaum elit. Menurut Amin, mungkin benar mengatakan bahwa syura dapat disebut demokarasi, tetapi dia secara sengaja menghindari istilah itu dalam konteks politik Islam, karena saat ini istilah demokrasi menjadi konsep yang disalahpahami, dalam pengertian dapat menyebut sistem mereka demokratis.

Konsep syura, dapat berperan sebagai benteng yang kuat untuk menentang pelanggaran negara, otoritarianisme, despotisme, kediktatoran dan sistem-sistem lain yang mengabaikan hak-hak politik rakyat. Dalam konteks demokrasi, partisipasi politik rakyat sangat dihormati sepenuhnya dalam proses penyelenggaraan negara, karena mereka pada hakekatnya adalah pemilik negara; mereka seolah-olah menerima mandat dari Tuhan, sementara para pemimpin hanyalah pelayan rakyat. Prinsip ini juga mengenalkan persyaratan bahwa kekuasaan negara harus dipilih secara bebas oleh rakyat, berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat. Adapun sistem monarki jelas tidak sesuai dengan Islam, karena sebuah sistem monarki, dimana raja hanya sebuah simbol kekuasan yang sebenarnya tetap berada pada rakyat. Seperti kerajaan Inggris, jelas lebih sesuai dengan Islam daripada sistem monarki kerajaan di Saudi Arabia, misalnya. Sebab, yang pertama kedaulatan berada di tangan rakyat dan kekuasaan yang sebenarnya dipilih oleh rakyat tiap empat puluh tahun sekali. Sementara yang kedua kedaulatan raja dan para bangsawan adalah pewaris negara dan tidak bertanggung jawab terhadap rakyat.

Mengembangkan sikap demokratis dan membentuk individu yang mempunyai harga diri, berbudaya dan memiliki identitas sebagai bangsa Indonesia yang bhineka tersebut perlu didukung oleh suatu sistem pendidikan yang juga mengembangkan sikap demokrasi. Tujuan pendidikan demokrasi adalah mewujudkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri, seperti pluralisme dan egalitarianisme. Nilai-nilai demokrasi yang ingin dicapai bukan berada di luar aktivitas pendidikan, tetapi inheren di dalamnya. Dengan demikian institusi pendidikan, keluarga, lingkungan masyarakat secara umum merupakan wadah alamiah perwujudan masyarakat berkeadaban.

Pendidikan demokrasi untuk yang merupakan prasyarat bagi terbentuknya masyarakat Indonesia yang berkeadaban, pada dasarnya mensyaratkan berbagai hal, antara lain; kebebasan politik, kebebasan intelektual, kesempatan untuk bersaing. Pendidikan yang mengembangkan kepatuhan moral, pendidikan yang mengakui hak untuk berbeda.
HAM

Secara umum, HAM (Hak-hak Asasi Manusia) adalah hak-hak yang diberikan oleh Tuhan secara langsung kepada manusia. Karenanya tidak ada kekuasaan yang mencabut hak-hak tersebut. Jika seseorang telah berlebihan dalam menjalankan hak-hak yang dimilikinya tentu akan melangkahi hak-hak orang lain yang ada di sekitarnya.

Tidak dibantah, kalau umat umat Islam sering kali mendapat tudingan bahwa tidak menghormati HAM. Pasalnya, sebagian muslim memang tidak sedikit memiliki pemahaman yang bias terhadap HAM ini. Bagi sebagian muslim ini, konsep HAM yang dikembangkan ditenggarai tidak sesuai dengan Islam.

Terlepas dari konsep HAM perspektif Islam sebagaimana telah dirumuskan di Kairo, atau konsep HAM universal yang dibuat oleh PBB, dalam kenyataannya tetap memunculkan kecurigaan kalau HAM belum sepenuhnya dapat dilaksanakan dalam masyarakat Islam. Ada beberapa pemahaman mendasar yang perlu dikaji ulang, sebab HAM dalam Islam -seperti yang dinyatakan dalam kompilasi hukum syari'ah- hanya merupakan hak istimewa bagi orang-orang dalam kapasitas hukum penuh. Seseorang dalam kapasitas hukum penuh adalah manusia dewasa, bebas dan muslim. Jadi sebagai akibatnnya non muslim dan budak yang hidup di negara Islam hanya dilindungi secara parsial oleh hukum atau tidak memiliki kapasitas hukum sama sekali.

Dalam masalah kebebasan beragama, juga terdapat perbedaan menyangkut seorang muslim yang murtad (keluar, pindah ke agama lain). Kalu melihat hadist Nabi yang menyatakan barang siapa yang berpindah agama, maka bunuhlah, berarti hukuman mati berlaku bagi si murtad tadi. Ketika wacana ini dihubungkan dengan konteks HAM, setidaknya terdapat dua pendapat mengenai teks ini;

Pertama, yang setuju dengan ketentuan ini seperti yang dikatakan Tahir Azhari. Sebab Islam betul-betul memberikan kebebasan kepada semua orang untuk memilih Islam atau agama lain. Akan tetapi, jika ia telah memilih Islam dia harus tetap menjadi muslim selama-lamanya, karena hal itu membuktikan bahwa dia tidak mempermainkan Tuhan.

Kedua, seperti yang diwakili oleh Syafii Maarif, berpendapat sebaliknya. Bahwa yang berhak menghukum orang murtad hanyalah Tuhan. Hubungan antar manusia hanya didasarkan atas prinsip saling menghormati, bukan saling meniadakan. Jika tetap menjadi hak setiap orang untuk berpindah agama, selama perpindahan ini didasarkan pada kebebasan berkehendak.

Karena itulah, konsep HAM yang benar-benar genuine dan mampu mengakomodir kepentingan semua pihak jelas harus dikembangkan dalam Islam. Meskipun nantinya akan melahirkan pro dan kontra atau polemik, namun setidaknya dengan maraknya wacana HAM universal ini, dapat memulihkan citra Islam dari tudingan bahwa Islam sangatlah diskriminatif mengenai HAM.

Fungsi pendidikan sensitif HAM adalah bagaimana menumbuhkan sikap dan prilaku siswa didik yang mengakui dan menghormati hak-hak orang lain, taat dan patuh terhadap aturan-aturan dan hukum. Jika pemahaman yang demikian telah tertanam dalam jiwa siswa didik dan mereka dapat mempraktekkannya dalam kehidupan bermasyarakat, maka institusi pendidikan dapat dianggap telah berhasil.

Pendidikan agama dapat berperan penting dalam menumbuhkan paradigma hidup dalam mewujudkan peradaban baru bagi generasi masa depan.

~ Wallahu a'lam ~

* Alumni MAK '97 Mambaus Sholihin, juga sudah rampung S1 UIN Jakarta th. 2000, sekarang sedang menempuh studi S2 UNJ pada program Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Aktif di beberapa forum mahasiswa dan kepemudaan serta NGO.

by http://www.mambaussholihin.com/
Read More..
1.11.2009

Home Schooling, Metode Pendidikan Efisien


PERKEMBANGAN pendidikan di Indonesia saat ini sedang marak dengan hadirnya tren belajar di rumah (Home schooling). Saat ini home schooling sedang marak dibahas oleh media, meskipun metode pendidikan efisien yang bersifat kekeluargaan ini sudah muncul sejak lama.

Apakah yang ada di benak anda tentang home schooling? Bukan berarti anak-anak Indonesia menjadi seorang pemalas atau sekadar santai belajar di rumah. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang pendidikan, ada beberapa metode pembelajaran yang dapat ditempuh secara efi sien bahkan praktis. Salah satunya home schooling. Tapi apakah home schooling juga berpengaruh baik untuk mental anak-anak? Biasanya bagi yang menjalankan sistem home schooling, mereka mempunyai komunitas sendiri, dan dapat saling bersosialisasi. Meskipun menggunakan istilah home schooling, tidak melulu sang anak harus belajar di rumah.


Peran orangtua memang berpengaruh khususnya dalam bidang pendidikan anaknya. Beberapa alternatif yang dapat ditempuh, misalnya kursus bahasa asing, kumon, dan sempoa. Kendala yang ada dan belum mendapat jawaban yang akurat adalah mengenai pengesahan ijazah dan sosialisasi. Apakah home schooling sudah diakui di Indonesia? Home schooling berarti tidak pergi ke sekolah dalam arti institusi (sekolah konvensional), namun materinya adalah yang diajarkan di sekolah konvensional. Begitu pun orangtua bisa memilih materi untuk pengajaran bagi anak-anaknya. Jadi tidak semua bahan pelajaran diberikan ke anak. Orangtua juga bisa ambil bagian, yaitu menjadi guru untuk sang anak, namun bisa juga memanggil guru dari luar untuk mengajar dan sebagainya.

Mereka yang memutuskan untuk menjadi home schooler biasanya sebagian besar orang-orang yang menerapkan sistem ini adalah orang orang yang pernah lama mengikuti pendidikan di luar negeri. Hal ini dilakukan karena kalau meneruskan sekolah di Indonesia biasanya membuat mereka turun kelas.
Home schooling atau sekolah di rumah ini semakin menjadi perhatian dalam dua tahun terakhir ini. Antara lain sejak begitu banyaknya orangtua yang merasakan bahwa suasana pembelajaran di banyak sekolah sering kurang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Bahkan dari sini muncul berbagai sekolah alternatif. Misalnya sekolah alam, yang mengajak siswanya belajar lebih banyak di alam. Anak tidak terlalu banyak belajar dalam ruangan yang serba kaku dan tertutup, namun lebih banyak berada di alam bebas. Ada pula sekolah alternatif lain yang membebaskan anak untuk belajar apa saja sesuai dengan minatnya. Di sini tidak ada kelas seperti halnya sekolah formal. Fungsi guru lebih pada membimbing dan mengarahkan minat anak dalam mata pelajaran yang disukainya.

untuk membaca artikel ini selengkapnya silahkan klik disini

Read More..

Asal Muasal Kabupaten Kotabaru


Hikayat Sa-Ijaan dan Ikan Todak

Singkat cerita, pada zaman dahulu, ada seorang Datu sakti mandraguna sedang bertapa di tengah laut. Namanya, Datu Mabrur. Ia bertapa di antara Selat Laut dan Selat Makassar. Maksud pertapaannya itu adalah memohon kepada Sang Pencipta agar diberi sebuah pulau. Jika dikabulkan, pulau itu akan menjadi tempat bermukim bagi anak-cucu dan keturunannya, kelak.
Di malam hari, ada kalanya tubuh Datu Mabrur seakan membeku. Cuaca dingin, angin, hujan, embun dan kabut menyelmuti tubuhnya. Siang hari, terik matahari membakar tubuhnya yang kurus kering dan hanya dibungkus sehelai kain. Ia tidak pernah makan, keuali meminum air hujan dan embun yang turun.

Di hari terakhir pertapaannya, ketika laut tenang, seekor ikan besar tiba-tiba muncul dari permukaan laut dan terbang menyerangnya.Tanpa beringsut dari tempat duduk maupun membuka mata, Datu Mabrur menepis serangan mendadak itu. Akhirnya, ikan itu terpelanting dan jatuh kembali ke air. Demikian berulang-ulang. Sementara, di sekeliling karang ribuan ikan mengepung, memperlihatkan gigi mereka yang panjang dan tajam. Seakan prajurit ikan yang siap tempur.

Pada serangan terakhir, ikan itu terpelanting jatuh persis saat Datu Mabrur membuka matanya.
“Hai, ikan! Apa maksudmu mengganggu samadiku? Ikan apa kamu?
“Aku ikan todak, Raja Ikan Todak yang menguasai perairan ini. Samadimu membuat lautan bergelora. Kami terusik, dan aku memutuskan untuk menyerangmu. Tapi, engkau memang sakti, Datu Mabrur. Aku Takluk..,” katanya, megap-megap. Matanya berkedip-kedip menahan sakit. Tubuhnya terjepit di sela karang yang tajam.
“Jadi itu rakyatmu?” Datu Mabrur menunjuk ribuan ikan yang mengepung karang.
“Ya, Datu. Tapi, sebelum menyerangmu tadi, kami telah bersepakat. Kalau aku kalah, kami akan menyerah dan mematuhi apa pun perintahmu.”

Demikianlah. Di hari terakhir pertapaannya, Datu Mabrur belum diberi tanda-tanda bahwa permohonannya akan dikabulkan. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya birunya laut, keluasan samudera dan cakrawala. Datu Mabrur kemudian menolong raja ikan Todak. Menyembuhkan lukanya. Saat Datu Mabrur ditawari istana bawah laut yang terbuat dari emas dan permata, dilayani ikan duyun dan gurita, Datu Mabrur menolaknya. Kepada raja ikan Todak, ia sampaikan maksud pertapaannya itu. Betapa terkejutnya Datu Mabrur ketika raja ikan Todak justru menyanggupi keinginannya itu.
“Aku takkan berdusta. Ini sumpah raja!”
Dengan lembut dan penuh kasih sayang, Datu Mabrur mengangkat raja ikan Todak itu dan mengembalikannya ke laut.
“Sa-ijaan!” seru raja ikan.
“Sa-ijaan!” sahut Datu Mabrur.
Sebelum tengah malam, sebelum batas waktu pertapaannya berakhir, Datu Mabrur dikejutkan oleh suara gemuruh yang datang dari dasar laut. Di bawah permukaan air, ternyata jutaan ikan dari berbagai jenis mendorong dan memunculkan daratan baru itu dari dasar laut. Sambil mendorong, mereka serempak berteriak, “Sa-ijaan! “Sa-ijaan! “Sa-ijaan..!”
Datu Mabrur tercengang di karang pertapaannya. Raja ikan Todak telah memenuhi sumpahnya. Datu Mabrur senang dan gembira. Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Sang Pencipta, ia menamakannya Pulau Halimun.
Alkisah, Pulau Halimun kemudian disebut Pulau Laut. Sebab, ia timbul dari dasar laut dan dikelilingi laut. Sebagai hikmahnya, kata sa-ijaan dan ikan todak dijadikan slogan dan lambang Pemerintah Kabupaten Kotabaru, Kalimatantan Selatan.

Kisah ini diambil dari buku yang baru Hikayat Sa-Ijaan dan Ikan Todak (cerita Rakyat dari Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan).
Read More..

BHP (Badan Hukum Pendidikan)

Katanya BHP + susah + ngga bisa kuliah + menyengsarakan. Byk pihak termasuk para mahasiswa tak setuju dilain sisi pemerintah bersama DPR adem2 aja, tak begitu parah tak segitu berbahaya, katanya.
Kalo mau pendidikan berkualitas ya mesti mahal, hak intelektual hak peneliti penemu juga mesti dihargai dan itu harus dinilai dgn angka ya uang royalti, dampaknya mahasiswa yg menjadi sasaran buat menjamin kesejahteraan mereka.
Beda kalo dulu pahlawan tanpa tanda jasa, skrg laen mas, kt butuh segalanya, susah2 menghabiskan waktu buat memikirkan pendidikan anak bangsa, masa tak dihargai sich. Orientasi kita telah jauh berbeda, tanpa pamrih sudah hilang dari kamus kepribadian, semua terwakilkan oleh materi.
Read More..

Saatnya!!!

Mana org2 lantang dimimbar dipodium dimana2 yg menyuarakan syariat islam, yg berteriak peperangan, kita telah dibukakan lahan syahid bagi mereka yg mengenal akan syahid.
mana org2 yg selalu berjiwa bersih berperang melawan kedzaliman yg slalu sedih melihat saudaranya ditindas, apa kerjamu? dimana kalian? kau buat semuanya jadi diam bungkam disuruh sabar tanpa pembelaan, dimana dimana wahai sobat?
Read More..